Harimonting: Sepenggal Kisah Lugu Masa Kecil

Batak Channel - Pengantar ...

Jika ditelaah lebih dalam tentang hal-hal yang meninggalkan kesan mendalam pada memori beberepa orang, maka akan menemukan berbagai ragam bentuk kenangan dengan porsi yang berbeda-beda. Ragam bentuk dalam hal ini menjurus pada perbedaan tempat dan waktu.

Banyak orang akan mengatakan bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah pada saat ia jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tak sedikit pula akan mengatakan bahwa kenangan masa kanak-kanak adalah sesuatu hal yang paling istimewa. Periode kenakalan SMP adalah hal yang gila, sedangkan masa puber SMA pun tak akan pernah terpisahkan dari memoar hidup.

Begitulah, setiap masa memiliki tempat tersendiri dalam bilik perjalanan hidup setiap orang. Ia akan meredup di sana, jauh di dasar sanubari. Dan akan ada kalanya ia akan menerang kembali, memancar dan beterbangan menghiasi sela jeda waktu. Saat itu juga kita akan menyadari, bahwa sesungguhnya waktu dapat kembali ke masa lampau. Hanya saja dalam ruang dan dimensi berbeda. Peristiwa tersebut dapat dilihat secara nyata dalam khayalan. Nyata dalam khayalan. Aneh bukan? Tentu saja, karena kenangan itu memang nyata adanya, tetapi kita hanya dapat melihatnya kembali dalam khayalan. Dan disebutlah itu mengingat. Atau barangkali, ini hanyalah sebuah permainan kata-kata.

Apa yang menjadikan kenangan tersebut layak untuk diingat kembali? Mungkin jawabannya adalah kesan. Yakni sesuatu hal dalam berbagai macam wujud yang terangkai sedemikian rupa menjadi sebuah peristiwa. Peristiwa dimaksud tidak melulu mengenai kebahagiaan, kesenangan atau yang seia sekata dengan gambaran itu. Kenangan dapat berupa kesedihan, kelucuan, kemarahan atau bahkan kebencian.

Dari hal-hal ini, secara pribadi, kelucuan atau hal-hal lucu menjadi nomor satu dalam hal mengingat masa lalu. Meski tak jarang pula peristiwa lainnya silih berganti singgah tergantung dari kondisi kita saat mengenang masa lalu tersebut. Pada umumnya memang, bahwa peristiwa-peristiwa lucu menjadi indikator utama dalam mengingat suatu kenangan. Mungkin setiap orang memiliki pendapat berbeda akan hal ini.

Jadi, adalah iya kan...

Tunggu, bukan begitu cara narasinya. Begini aja!

Sore ini, kenangan tentang masa kecil kembali mencuat. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja terbersit dalam pikiran. Sebuah peristiwa ketika pada suatu masa sekawanan bocah melakukan kelana kecil di 'ramba' (sebut saja semak setengah hutan) sepulang dari sawah. Di tengah perjalanan, mereka melakukan sayembara. Barangsiapa dapat mengumpulkan Harimonting paling banyak, maka seketika itu ia akan didaulat menjadi anak yang paling 'jago' di kumpulan tersebut. Sebut saja sebagai pemimpin. Sesederhana itu hadiah sayembaranya.

Pada mulanya, mereka hanya sekedar mencari Harimonting di pinggiran jalan saja. Mengingat sepanjang jalan setapak menuju rumah adalah semak tumbuhan semi hutan, maka jika pada musimnya akan sangat mudah untuk menemukan bijinya. Namun kali ini, bijian yang seukuran kelereng dan cenderung berwarna merah padam apabila sudah matang, ini tidak dalam masa suburnya. Mereka dituntut untuk usaha ekstra mendapatkannya. Maka dari itu, acap kali para bocah harus mencari lebih jauh ke dalam semak dan meninggalkan setapak utama yang harusnya mereka lalui menuju rumah.

Sebutlah Hempor aliasnya. Entah dirasuki hegemoni apa, ia merasa bahwa sayembara ini sangat menantang dan layak untuk dijejal. Dan ia memiliki ambisi tersendiri untuk hal itu. Ia pun berniat mencari biji Harimonting sebanyak mungkin dan nanti di akhir kompetisi ia akan berhak menyandang gelar jagoan sekaligus pemimpin. Ia pun tampil beringas pada sayembara ini, terbukti dari hasil yang ia perolah di akhir sayembara.

Baca juga:

• Marsialap Ari: Kearifan Lokal dari Tanah Batak yang Layak Dicontoh
• Martandang, 'PDKT Gentleman' Ala Orang Batak

Di arena, tak jarang antara mereka saling sikut dan berlomba untuk menggapai biji hitam padam merona yang pada saat bersamaan bertemu di pandangan mereka. Seruan saling klaim milik sendiri pun mewarnai lomba tersebut, walau pada akhirnya si empunya hanya ditentukan oleh 'siapa cepat dia dapat'. Satu per satu biji Harimonting berhasil Hempor kumpulkan dan kini sudah sesak menumpuk di sakunya. Sebagian dari biji tersebut bahkan ada yang remuk dan membuat sekitaran sakunya berlumuran bercak cairan merah hitam.

Meski telah memiliki banyak, lantas tak menyurutkan ambisi Hempor. Ia tak merasa puas. Ia bahkan lebih gencar lagi mencari biji tersebut. Semakin jauh ia merengsek ke dalam semak, semakin banyak pula biji yang ia dapat. Ambisi tersebut akhirnya membuat ia lupa, lupa akan keberadaanya kini. Hingga ia merasa bahwa pada saat itu ada sesuatu yang aneh. Mendadak ia melihat ke sekelilingnya dan mendapati tak ada orang. Bahkan suara teman-temannya tak jua ada yang hinggap di telinganya ketika ia berhenti sejenak dalam hening. Sadar bahwa sudah terpisah dari kelompok, ia mencari tahu keadaan dengan sedikit teriakan 'hoee!!,' namun tak ada sahutan. Ia besarkan volume suara 'hoeee!!!,' tak ada juga sahutan. Nada teriakannya kini terasa gemetar 'hoeee...!!!,' mungkin karena rasa takut sudah merasukinya.

Rasa takutnya semakin jadi karena semak yang ia hadapi kini tiba-tiba saja terasa semakin lebat dan menjerat kakinya sehingga susah untuk dilewati. Padahal sebelumnya ia merasa tidak menemukan rintangan berarti hingga tiba sejauh ini. Ia semakin gegabah, dirundung takut. Dalam ketakutan itu, sesuatu benda cair tanpa disadari olehnya telah membasahi sekujur selangkangan, meresap lebar ke celana bola tiruan merek Barcelona yang dikenakannya. Ia tak lagi memedulikan hal itu. Ia kini mendadak rindu dengan teman-temannya, rindu ibunya, rindu rumah dan rindu setidaknya menemukan setapak jalan yang biasa mereka lewati saat pulang dari sawah. Ia berusaha sekuat tenaga berlari dan lepas dari kungkungan semak belukar yang rasanya semakin susah ia lalui. Hari pun tampak semakin gelap. Ia akhirnya menangis pelan, lambat laun tangisan itu menguat dan semakin menjadi. Ia meraung putus asa.

Di tempat berbeda, teman-temannya yang lain sudah bersama dan memilih untuk pulang saja karena sudah lelah berteriak dan mencari. “Pulanglah kita, entahnya dia sudah duluan pulang,” begitu pikir mereka saat itu. Namun di sisi lain mereka juga sedikit khawatir. Bagaimana tidak, merekalah teman Hempor seperjalanan saat pulang dari sawah tadi. Dengan begitu, sudah tentu merekalah yang menjadi sasaran tanya untuk mengetahui keberadaan Hempor apabila ia benar-benar tidak pulang ke rumah.

Tangisan Hempor yang meraung ternyata membuahkan hasil. Seorang lelaki paruh baya merasa penasaran dengan tangisan tersebut dan berhasil menemukan sumber suara. Maka ibalah lelaki itu melihat keadaan Hempor, penuh linangan air mata. Setelah mengetahui nama bapaknya saat ditanya, akhirnya ia perlahan mau dibujuk pulang oleh lelaki tersebut. Lagi pula lelaki itu mengaku kenal dengan ayahnya. Ia memang tidak mengenal lelaki itu, namun ketimbang sendiri di semak belukar semi hutan dan hampir malam begini, ia lebih memilih untuk ikut bersama lelaki tersebut. Ia merasa lega karena saat ini mereka telah berjalan di setapak yang biasa mereka lalui. Sepanjang jalan menuju rumah, rasa bahagia, lega disertai amarah menyelimuti perasaan. Marah karena, mengapa teman-temannya saat itu membiarkan dan meninggalkan ia sendirian?

***

Ia hisap nikmat sebatang rokok Marlboro putih terjepit di jemarinya, lalu menyeruput kopi hitam. Pelan sebuah senyuman tersipu di bibir. Harimonting! Kemudian tertawa sambil menundukkan kepala sesaat. Kembali ia menikmati rokok para penunggan kuda tersebut.

Di mana kalian sekarang teman? Masih ingatkah kalian denganku? Dan...mengapa kalian meninggalkanku saat itu?

Hahaha dasar sialan!

Medan, Agustus 2016