Saturday, August 12, 2017

Senja di Warung Mie Aceh

Hari ini aku pulang lebih awal dari kantor. Kepenatan yang sedari tadi nyesak di kepala lepas begitu saja kala arah jarum jam menunjuk pukul tujuh belas wib nol-nol. Rasa-rasanya amat lega seperti lepas dari tengah-tengah kerumunan monyet yang sepanjang jalan berusaha menarik tanganmu saat mereka tahu sedang membawa setandan pisang favoritnya. Sebuah gangguan masif menjengkelkan namun juga menakutkan bukan?


Kepulangan ini sudah terencana sejak pukul 14.45 tadi. Begitu lagu wajib kantor –saban hari diputar setiap pukul 17.00 WIB- berkumandang, segera saja tanganku meraih mouse lalu mengarahkannya ke tombol berlogo windows di layar laptop. Buru-buru kuklik logo tersebut lalu pilih Shutdown > shutdown. Hmm, akhirnya pulang. Hari ini tergolong aneh. Menunggu pukul lima saja rasanya seperti menunggu antrian tiket pintu jalan tol Medan-Tamora saat lebaran. Bosan tidak karuan.

Sepanjang jalan pulang aku habiskan mendengarkan lantunan lagu-lagu A7X dan Mettalicca. Dentuman suara dram bass di telinga serasa obat bius yang disuntikkan ke dalam saraf kepalaku. Aku merasa melayang di antara tengah-tengah hiruk pikuk kota. Menikmatkan! Tiba-tiba saja aku lupa akan perangai monyet-monyet yang menarik-narik tanganku tadi. Namun sekejap saja sebelum kembali teringat dengan kerjaan kantor. Permintaan-permintaan mereka yang aneh bin sombong dan juga beragam kendala yang tiap hari mereka sodorkan. IT memang kompleks, sekompleks kebutaan mereka tentang IT itu. Ditambah pula dengan  ketidakmampuan mereka memahami orang IT. Lengkap sudah, kesempurnaan yang memuakkan!

***

Suasana nyaris ramai. Terdapat beberapa orang duduk berpasangan-pasangan, tapi ada juga yang gerombolan. Aku jadi heran, masih sore begini, tapi tempat ini sudah ramai saja. Namun kembali aku bermaklum, lantaran tempat ini sangat strategis. Meski didominasi oleh anakmuda yang hampir semuanya rataan mahasiswa, nyatanya tak jarang orang yang sudah berkeluarga pun singgah di tempat ini bersama anak-anaknya. Mie Aceh Pasbar 20.

Pukul 18.00 kurang beberapa menit aku tiba. Disuguhi menu. Kutulis nasi goreng + jus terung belanda pada secarik kertas, setelah beberapa waktu aku termenung melihat tulisan ‘mie aceh’ namun mengabaikannya. Mie aceh memang bukan favoritku, begitupun nasi goreng, dan atau menu lainnya. Aku hampir tidak memiliki favorit. Hanya saja, ada sesuatu yang nyantol di benakku ketika berpapasan dengan ‘mie aceh’.

Adalah Whanie. Sosok perempuan yang teringatkan oleh karena mie aceh. Ia beberapa hari yang lalu mengucap janji sehidup semati dengan seorang lelaki di altar Gereja, di depan Pendeta bahwa tak akan pernah terpisah oleh apapun selain maut. Lelaki yang beruntung, batinku. Tentu saja aku tidak ingin bernostalgia lalu terbawa larut dengan memori mie aceh, asal mula, ikhwal dan sebab musabab cerita di balik mie aceh. Tidak sampai kapan pun!

Baca juga:


Aku sudah menguburnya dalam-dalam semenjak berpisah. Bahkan lebih dalam semenjak menerima undangan pemberkatannya minggu lalu. Pesan undangan yang kubaca di aplikasi WA. Mengubur sangat dalam, begitu dalam hingga mengendap dan berbekas titik putih, pedih; sedikit. Menyisakan bayangan-bayangan pilu. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih, senang atau marah, gundah atau ria, dan, datang atau tidak ke acara tersebut? Jawaban singkat “Oke. Selamat ya” rasa-rasanya sudah sangat cukup merangkum segala rasa yang bercampur aduk saat itu. Setelahnya, aku hanya bersandar pasrah di belakang meja menatap kosong ke arah gedung raksasa Podomoro yang masih dalam proses pembangunan itu. Tiada lain kurasa selain hampa. Lantaran itulah, mengapa hari ini aku buru-buru meninggalkan kerjaan kantor.

Semestinya memang …, undangan tersebut tidak lagi memiliki kaitan sebab-akibat, karena di antara kami sudah jelas tidak ada lagi apa-apa semenjak perpisahan beberapa tahun yang lalu. Semestinya! Namun, bukan kenangan namanya kalau ia suka usil mengganggu keadaan saat ini, bukan?

Akhirnya pesanan tiba. Kutepikan kegiatan mengetik di laptop, lalu kunikmati santapan demi santapan hingga tersisa sendok dan piring kosong. Dan …, entah bernasib baik atau tidak, mujur atau tidak. Atau hanya sekedar kebetulan, atau bahkan aku sedang berkhayal, entahlah. Kenyataanya, barusan saja aku mendengar suara perempuan merdu bertanya “Bang, kursinya kosong?”

Dan kujawab jujur saja “Iya dek, kosong”

Kejut saja aku senang kepalang. Selanjutnya, aku merasa bahwa senja ini akan menjadi babak yang seru. Karena aku tidak menyangka ia akan duduk berhadap-hadapan dan satu meja denganku. Di meja lain masih banyak kursi kosong, lalu mengapa ia sengaja datang ke mejaku?

Baiklah. Sebelumnya aku akan mengatakan kalau perempuan ini ramah dan baik. Mengapa? Karena tak sungkan ia membuka percakapan denganku yang bahkan belum ia kenal, dan belum mengajak kenalan. Setelah berbasa-basi dan menemukan rasa aman saat berbincang, kusodorkan tangan untuk berjabat. Bak air yang tumpah, gayung pun bersambut. Boru Nainggolan. Sebuah kata yang sontak langsung memenuhi ruang kepala. Seolah tiada tempat lagi bagi boru yang lain.

Ia sangat cantik gengk! Pula baik nan ramah. Anda kenal Ralin Shah model wanita yang kesohor itu? Nyaris lewat!

Tapi okelah, aku anggap ini hanya sekedar kebetulan semata. Maka dari itu aku pun berusaha bersikap biasa layaknya ia bersikap. Tapi makin ke sini aku merasa semakin penasaran. Semakin lama berkongkow, semakin aku kembali diingatkan dengan sosok perempuan yang sudah menikah itu.

Bunyi nada dering di handphonenya seketika memutus perbincangan kami. Dengan sopan ia minta izin untuk menerima panggilan tersebut. Di sinilah letak keanehannya, entah karena kebetulan lagi atau tidak, sangat jelas aku mendengar ia berkata “Kau tahu sendiri kan say, mie aceh itu kesukaanku, hahaha” cakapnya dalam telpon. Baru saja aku merasa kehilangan perempuan yang memfavoritkan mie aceh, dan sekarang malah sudah dijumpakan lagi. Hm, sangat kebetulan sekali.

Kualihkan fokus dan kembali pada kegiatan mengetik sebelumnya, sembari menunggu ia selesai telponan. Fokusku gagal total. Di balik kepura-puraanku mengetik, pandangku tak bisa lepas dari sosok perempuan itu. Air mukanya perpaduan oval dan tirus, lesung pipinya tidak begitu mencolok, hidung mancungnya berpadu dengan tatapan mata sedikit sipit yang aduhai makjanggg, ditambah lagi rambutnya yang lurus berurai. Ia teramat cantik untuk seorang yang begitu ramah. Belum pernah kutemukan perempuan secantik dia sekaligus memiliki sikap begitu ramah. Tak sekalipun pernah. Barangkali, karena kombinasi itulah maka aku merasa beruntung saat itu, meski sebaliknya mungkin ia tidak.

Selepas ia selesai telponan, kembali kami merajut cakap yang tadi terputus. Kali ini kami semakin kompak. Candaan demi candaan mengalir begitu saja layaknya orang yang sudah lama kenal. Dan tidak terasa malam sudah menunjuk angka 10. Angin kencang dan bunyi gemuruh turut memacu kami untuk saling menyambut pisah. Sebagai ucapan terima kasih untuk perkenalan teman baru yang asyik, buru-buru aku ke kasir dan membayar meja kami.

Baca juga:
Seperti biasa, ia membalas dengan senyuman aduhai disertai ucapan terima kasih. Sembari beranjak “Wah, besok mesti pura-pura gak kenal nih sama abang ini, biar dapat traktiran lagi, hahaha” candanya dengan tawa lepas. “Sampai hidungmu berubah jadi pesek pun, sepertinya lupa tidak akan pernah bersahabat denganku dan menepis kecantikan wajahmu” ujarku berkelakar. “Hahaha, sering-sering traktir ya bang …”

Dan kesempatan kecil itupun kutangkap, sembari senyum “Tentu! Tapi aku bakalan bingung bagaimana cara mengajakmu?”

Merasa grogi, ia pun menutup perjumpaan kami. “23 hari dari sekarang ya bang” simpulnya tersenyum.

Ia menghidupkan motor scoopynya lalu melambaikan tangan. Akupun buru-buru menghidupkan motor lalu meninggalkan tempat tongkrongan itu. Sebentar lagi akan hujan.

***

Memasuki hitungan hari yang ke 7, aku semakin sering ke tempat yang sama. Berharap sebuah kebetulan kembali akan mempertemukan kami. Namun sejauh ini kebetulan itu belum berpihak. Kuisi kekosongan senja demi senja di tempat itu dengan ketikan kata per kata di laptopku. Acap kali hendak pulang, dari atas motor kulempar pandang ke meja yang biasa itu, sembari penuh harap menghitung angka menuju 23.

Kenapa rasanya lama sekali menunggu hari itu?

Medan, Juli 2017


0 comments:

Post a Comment