Thursday, May 4, 2017

Kekalahan Ahok-Djarot, Bunga dan Fadli Zon

Pilkada DKI Jakarta telah bermuara pada sebuah hasil. Pasangan calon gubernur nomor pilih 3 Anies Baswedan – Sandiaga Uno telah terpilih berdasarkan hasil perhitungan hitung cepat dan juga penghitungan KPU.
Yang artinya, Jakarta sudah akan memiliki gubernur baru yang secara defenitif disumpah pada bulan Oktober mendatang sekaligus berakhirnya masa jabatan gubernur petahana Basuki Tjahja Purnama.

Pemenang telah ditentukan. Meski tidak sedikit yang merasa bahwa pemenang sejati justru berada pada pihak yang kalah. Oleh mereka ini, meski pada pemilihan umum gubernur DKI mereka dinyatakan kalah tetapi tidak di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Hegeni pemilihan gubernur memang luar biasa pengaruhnya. Terlebih karena kontestasi ini dibumbui dengan isu sensitif bernama SARA.

Apa yang ditunjukkan oleh Ahok pasca mengetahui kekalahan mereka berdasarkan hitung cepat, seperti yang ia sampaikan pada pidato kekalahannya, bahwa pihak mereka dengan legowo menerima kekalahan tersebut adalah suatu karakter kesatria. Tiada sedikitpun niat bagi Ahok maupun Djarot untuk mengatakan sekedar tidak terima atau keberatan dengan hasil hitung cepat.

Sebaliknya, Ahok bahkan mengajak serta kepada para pendukungnya dan juga relawan agar dapat berlapang dada dan menerima kekalahan tersebut. Ia ikhlas dengan kekalahan. Dan betapa seperti Ahok, mereka-mereka yang berada di belakang Ahok inipun sejalan dengannya. Tidak berniat untuk melakukan protes hukum meski menurut mereka telah menemukan beberapa pelanggaran, kejanggalan, politik uang dan intimidasi selama proses pemungutan suara berlangsung.

Namun kembali lagi, sebagaimana niat awal seorang Ahok, bahwa ia memutuskan untuk bertarung di pemilihan kali ini bukanlah sekadar mengejar jabatan, uang, tahta maupun kekuasaan. Ahok hanya ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan tanah air dengan cara menjadi pelayan masyarakat banyak khususnya Jakarta. Mengemban amanah untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Jakarta, menjaga uang rakyat dari mafia-mafia koruptor dan memastikan setiap orang menerima apa yang menjadi hak sesuai porsinya, seperti yang sudah ia buktikan selama menjabat selama lima tahun. Itulah niat ahok.

Tetapi kemudian kita menjadi tersadar. Di negeri ini, negeri majemuk yang konon katanya tingkat tenggangrasa dan toleransi antar manusianya memiliki nilai yang baik di mata dunia, ternyata masih sangat mudah terhasut oleh isu SARA. Barangkali kebanyakan dari masyarakat majemuk ini tidak atau mungkin belum mengetahui bahwa sesungguhnya mereka hanya diperalat oleh sekelompok mafia-mafia politikus yang haus akan kekuasaan, jabatan dan kekayaan.

Dan naifnya, hanya karena sebatas bersilang pemahaman perihal keyakinan, mereka kemudian menjadi seolah buta terhadap hal-hal baik yang telah dilakukan oleh Ahok. Bagi orang-orang yang melihat dan menilai berdasarkan hasil kinerja, komitmen, ketulusan dan pengabdian, maka sekiranya mungkin agak berlebihan jika mengatakan bahwa sosok Ahok hanya satu di antara jutaan manusia Indonesia atau tidak seorang pun yang layak dan lebih baik menggantikan sosok Ahok.

Pasca pemilihan usai, banyak orang berharap bahwa kegaduhan-kegaduhan yang terjadi sebelumnya, secara perlahan dapat surut dan berangsur hilang. Perang buzzer antara kedua belah pihak masing-masing pendukung calon tidak ditemukan lagi di lini masa internet. Komentar-komentar miring saling menyudutkan di sosial media yang kemudian memicu perdebatan panjang hingga pertikaian dapat segera sirna.

Tetapi tidak! Segala harapan-harapan baik tersebut sebaliknya justru yang menjadi sirna. Perang antara kubu yang kalah dan menang masih terus bergulir. Perang berupa komentar miring, tuduhan-tuduhan yang saling menjelek-jelekkan pihak bersebarangan, hingga lama kelamaan terbentuk sekat lawan dan kawan. Yang sependapat adalah kawan, lalu sebaliknya adalah lawan. Demokrasi gagal!

Menjadi miris, ketika komentar-komentar miring yang bermuatan tuduhan negatif justru datang dari seorang pejabat berdasi, anggota DPR terhormat dan notabene adalah pendukung dari salah satu pasangan calon. Komentar dimaksud di sini adalah berkaitan dengan banyaknya karangan bunga yang berdatangan ke balaikota dan ditujukan kepada pasangan calon yang kalah, Ahok-Djarot.

Entah karena alasan apa dan untuk tujuan apa, yang pasti menurut saya pribadi komentar dari wakil rakyat tersebut sungguh sebuah tindakan bodoh dan melampaui batas ketololan. Bayangkan saja, seorang Fadli Zon, wakil ketua DPR RI, dengan mudahnya memberi sangkaan negatif hanya soal karangan bunga. Yang sama sekali tidak ada kait paut terhadap dirinya, kelompoknya atau segala macam hal tetek bengek yang berkaitan dengan isi kepalanya.

Baca juga: Puisi Esai: Yesus dan Barnabas

Fadli Zon menduga, bahwa karangan bunga yang jumlahnya melebihi angka 1000 (belakangan mencapai 4000-an) adalah sesuatu hal yang berlebihan dan justru membuang-buang uang yang semestinya dapat diberikan kepada orang yang tidak mampu. Lagi, ia mengatakan bahwa karangan bunga tersebut hanyalah sebuah kamuflase pendukung Ahok untuk menunjukkan kepada dunia bahwa begitu banyaknya orang yang bersimpati dan merasa kehilangan atas kekalahan Ahok.

Fadlin Zon juga menduga, bahwa karangan bunga yang ditujukan kepada Ahok-Djarot hanyalah permainan yang berasal dari satu pihak saja, dan tentunya didanai oleh satu pihak pula. Karangan bunga ini merupakan rekayasa untuk mendapat simpatik massa karena akan diliput media. Sebuah cara yang kotor untuk menampik kekalahan dan mendapatkan simapatik banyak orang. Demikian dugaan Fadli Zon.

Sebegitu dangkalnya kah pemikiran seorang wakil rakyat? Atau sebegitu dengkinya kah hati seorang pejabat? Atau sebegitu sontoloyonya kah isi kepala orang yang duduk di gedung pemerintahan ini? Entahlah! Bagi saya pendapat-pendapat dan komentar-komentar yang dilontarkan oleh seorang Fadli Zon hanyalah sebuah kebahlulan yang malah menunjukkan dan menggambarkan sosok seperti apa diri dia sendiri sebenarnya. Semakin menunjukkan bahwa betapa Fadli Zon berada pada tempat yang salah, amat sangat salah.

Akan lebih mungkin diterima akal meskipun sejatinya tidak, jika komentar miring yang dilontarkan Fadli Zon berasal dari kalangan orang-orang yang tidak berkepentingan di politik dan pemerintahan. Bukan pejabat, bukan pengurus partai, dan bukan pula orang-orang yang duduk di DPR apalagi pendukung fanatik pihak Anies-Sandi. Singkatnya masyarakat biasa saja.

Karangan bunga hanyalah karangan bunga, secuil tulisan yang isi dan ungkapan di dalamnya berupa simpati, empati, dan sesuatu yang sama maknanya dengan itu. Jika hanya karena banyaknya dukungan moril yang berdatangan kepada Ahok-Djarot, lantas membuat Fadli Zon berang hingga berkomentar miring, itu artinya ada sesuatu yang keliru dengan dirinya.

Hal semacam ini seharusnya tidak perlu muncul dari seorang wakil rakyat seperti Fadli Zon. Semestinya Fadli Zon harus menjadi panutan bagi para pendukung-pendukungnya dengan memberi komentar bernada mendinginkan suasana bukan justru sebaliknya. Atau barangkali Fadli Zon tidak merasa puas dengan kekalahan yang diterima Ahok-Djarot.

Apabila kekalahan saja masih belum cukup, apa jadinya jika Ahok-Djarot seandainya menang? Mengerikan bukan?

0 comments:

Post a Comment