Sunday, February 19, 2017

4 Kalimat Sakti Masa Kecil Ini Adalah Mitos, Setuju?

Batak Channel - Pernahkah anda mengalami dan mendengar semasa kecil beberapa kalimat dari orang tua yang sifatnya berupa perintah, larangan atau barangkali wejangan, namun ketika anda sudah beranjak dewasa, anda sadar bahwa pada dasarnya perintah terdahulu tersebut adalah tipuan yang diplesetkan menjadi pemali?

Mengapa tipuan? Karena sejatinya makna yang tersirat dalam kalimat tersebut tidak sepenuhnya benar atau jauh dari kata benar. Meski memang, bahwa tujuan dari kalimat tersebut adalah baik. Dan mengarah kepada kebaikan.

Lantas, apa saja kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh para orang tua tersebut? Berikut coba Sampilpil uraikan beberapa di antara kalimat-kalimat yang katanya pemali tersebut.


1. Jangan banyak makan ikan, nanti kena penyakit kulit! 

Hmm, kalimat yang absurd bukan? Bagaimana mungkin anda akan mengalami penyakit kulit hanya karena banyak makan ikan? Pun demikian tidak masuk akalnya kalimat ini, tetap saja mengandung nilai positif yang terkandung di dalamnya.

Sekilas nostalgia, kalimat ini dahulu semasa kecil di kampung, sudah menjadi sebuah kebenaran mutlak yang harus dituruti. Mengapa? Karena kalimat ini berasal dari orang tua kita sendiri yang sudah semestinya harus dituruti. Lagi, pada penyampainnya terikut pula nada ancaman. 

Namun semakin ke mari, kebanyakan orang pun paham bahwa sesungguhnya kalimat itu tidak benar seperti pada isi kalimatnya. Kalimat ini barangkali bermaksud, berdasarkan pengalaman dan pemahaman penulis, tak lain adalah agar mendorong anak-anak ke arah penghematan. Karena faktanya pada masa itu rentan dengan kesulitan ekonomi, dan ikan merupakan komoditas yang wah. Maka, dengan kalimat sakti ini, setidaknya akan dapat mengurangi kuantitas konsumsi anak-anak terhadap ikan yang mahal harganya.

2. Jangan menyapu rumah malam hari, nanti rejekimu jauh! 

Sangat tidak masuk akal. Sangat tidak mungkin rejeki memiliki tali persaudaraan dengan sapu dan atau menyapu. Kaitan sebuah benda pembersih, sapu, ke rejeki, rasa-rasanya dikaji dengan ilmu apapun tidak akan menemukan benang merahnya. Tapi lagi, karena ini adalah perintah dari orang tua, maka mau tidak mau harus dituruti.

Layaknya seperti kalimat dipoin pertama, orang-orang pun pada akhirnya menarik sebuah kesimpulan tersendiri mengenai kalimat ini. Ada yang beranggapan bahwa dahulu itu di rumah-rumah di desa belum ada penerangan berupa listrik, hanya sebiji lampu teplok. Maka menjadi masuk akal ketika orang tua melarang anaknya menyapu rumah di malam hari karena keadaan rumah yang remang nan gelap pada saat itu.

3. Jangan makan di depan pintu, kelak akan berakibat sulit mendapatkan jodoh! 

Larangan yang satu ini sepertinya bukan hanya menyasar anak-anak saja, melainkan ke semua kalangan. Dan tentu saja, larangan ini masih tidak masuk di akal siapapun. Lantas, apa hikmah di balik kalimat kontroversial ini?

Pada umumnya orang menganggap bahwa larangan ini bertujuan supaya sipapun orangnya, agar jangan sesekali makan di depan pintu karena akan mengganggu penggunanya. Karena pintu adalah satu-satunya akses menuju rumah. 

Dapat anda bayangkan betapa tidak sedapnya di mata ketika anda makan dengan santai di depan pintu, sementara orang tua kita sedang sibuk melakukan pekerjaanya yang mana butuh untuk melewati pintu tersebut. Contohnya: mengangkat kayu bakar ke dalam rumah, mengangkat jemuran padi, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang serupa.

4. Jangan biasakan berpura-pura menangis, karena ibumu akan dapat musibah! 

Sangat tidak berkorelasi. Namun, karena berpura-pura adalah sesuatu yang tidak baik, pula menangis adalah ‘simbol kecengengan’ maka kalimat ini pun menjadi senjata jitu untuk menangkal kebiasaan anak-anak ini. 

Dahulu, orang tua sering sekali merasa jengkel dan dongkol ketika mendapati anak-anaknya yang sedang bermain begitu senangnya, tiba-tiba ada yang menangis dengan pura-pura. Sontak saja orang tua akan terkejut bukan? “Jangan-jangan anakku terjadi apa-apa,” begitu kira-kira dalam pikiranya. Dan tanpa panjang lebar akan segera mengecek kondisi anaknya, dan bertanya “Ada apa anakku?”

Hal seperti ini umumnya terjadi di sawah, ketika orang tua sibuk bekerja mencangkul, maka anak-anak akan sibuk dengan dunianya sendiri. Sehingga ketika kemudian sang anak yang tadinya pura-pura menangis, menjadi benaran menangis -lantaran dijewer- itu tidak lepas dari rasa jengkel orang tua. Kejengkelan ini pun berubah menjadi amarah saat mendapati anaknya sedang mempermainkan marwah orang tua di tengah kelelahan mencangkul. Karena barangkali, bagi anak-anak “Berpura-pura menangis” adalah sebuah seni, seni mendapatkan perhatian.

Begitulah, sesuatu hal yang disampaikan secara terus-menerus dan dianggap sebagai sesuatu hal yang benar, maka seiring waktu berjalan akan dianggap benar pula. Sebenarnya masih banyak kalimat-kalimat lain serupa yang sekilas dari struktur kata tidak memiliki makna berarti. Seperti, “Jangan berpindah-pindah saat makan karena berakibat akan mendapat ibu tiri”, “Jangan berfoto bersama dalam jumlah ganjil,” dan sebagainya.

Namun pada intinya, semua kalimat sakti beraroma mitos ini tetap saja bertujuan kepada hal yang baik, meski sedikit terasa konyol. Kalimat-kalimat ini barangkali, hanya sebagai senjata yang lain, selain kontak fisik serupa kekerasan dalam mendidik anak-anak khususnya, dan manusia pada umumnya.

Demikian beberapa kalimat sakti beraroma mitos yang dapat Sampilpil uraikan. Apakah anda memiliki pengalaman serupa dengan kalimat-kalimat ini di masa kecil anda?

0 comments:

Post a Comment